Heboh, Isu Santet Melalui HP

“Kalau ada nomor handphone dengan nomor 0866 dan 0666 atau yang berwarna merah memanggil masuk, jangan diangkat. Soalnya, di Jakarta dan Tanjung Balai Karimun sudah ada yang meninggal gara-gara mengangkatnya. Konon ada orang yang sedang mengetes ilmu hitam. Jangan lupa sampaikan kepada keluarga. Batam dan Brunai sekarang lagi heboh..”

Begitulah isi pesan yang sejak dua hari lalu memasuki konsumen HP Banda Aceh. “Saya dikasih tahu adik dari Medan,” kata Iros, 26, kepada Harian Aceh, Rabu.
Iros mengaku ngeri. Dia juga bilang, teman-teman gurunya semuanya sudah menerima pesan sejenis. Hanya bahasanya yang beda. “Pokoknya, ada peringatan seperti itu,” katanya.
Sejumlah pemilik HP ditanya koran ini rata-rata mengaku sudah tahu informasi seperti itu. “Kakak saya di Jakarta juga memberi tahu hal itu. Katanya sudah ada korban di Lhokseumawe,” kata seorang pemuda yang siang itu nongrong di café Nanggroe.
Sebagian di antara mereka ada yang percaya, sebagian lagi ragu-ragu. “Apa bisa ya, nyantet lewat HP,” tanya Iros ragu.
Isu yang tidak jelas sumbernya itu menyebutkan bahwa akan sangat berbahaya manakala salah satu dari dua nomor tersebut (0866 – 0666) muncul warna merah karena dapat berakibat fatal bagi penerima panggilan misterius itu.
Percaya atau tidak, yang pasti, tentang isu telpon ilmu hitam ini cukup menghebohkan. Di warung kopi, sekolah, kampus dan kantor-kantor isu ini menjadi cang panah.
“Kabarnya, di Kota Lhokseumawe ada yang sudah tewas gara-gara menerima telpon tersebut,” ucap T. Azhari, 24, warga Kota Banda Aceh.
Karena ia mendapat SMS peringatan, ia mengaku, melanjutkan pesan itu kepada sanak saudaranya dan teman-temannya. “Di antara mereka ada yang bilang sudah menerima pesan sejenis, bahkan sudah tidak kali,” katanya.
“Ya, saya juga mendapat pesan, jangan menerima kalau ada telepon dengan nomor 0866 dan 0666,” kata Didin, 45. “Konon, gara-gara menerima nomor telpon itu, seorang laki-laki di Kota Lhokseumawe meninggal mendadak seperti disantet. Nomor tersebut sedang mengincar orang Aceh. Kita hati-hatilah,” katanya. Didin sendiri mengaku mendengar informasi itu dari temannya, sedangkan sang teman menerimanya dari teman yang lainnya lagi.
Begitulah. Tapi sejak merebaknya isu tersebut, sejumlah ibu di Kota Banda Aceh telah menarik telepon genggam dari anak-anaknya untuk sementara waktu. Hal ini untuk mencegah anggota keluarganya jadi korban, katanya.“Untuk sementara waktu, kalau ada nomor-nomor tidak jelas masuk di HP, saya minta pada anak-anak tidak mengangkatnya,“ ucap Dahlia, 32.
Ditanya menyebarkan informasi ini kepada seluruh kerabat, dia menyatakan iya. “Habis pula Rp10.000 untuk mengirim SMS seperti itu ke saudara-saudara,” katanya.
Isu ini benar-benar heboh. Dan, yang pasti, operator seluler dapat keuntungan karenanya. mrd

Konvensi Lahan Bakau Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit

Lingkungan Hidup

Oleh : Chairu Dalpen

15-Mar-2008, 16:37:57 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Sedikitnya 30% dari lebih 10.000 ha lahan bakau di pesisir pantai Kabupaten Aceh Tamiang Nanggroe Aceh Darussalam dijadikan lahan perkebunan Kelapa sawit oleh sejumlah pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Bisnis kelapa sawit sepertinya saat ini cukup mengiurkan, sehingga sebahagian pengusaha baik lokal maupun luaran tidak ragu-ragu membuka lahan baru untuk penanaman pohon kelapa sawit, maklum harga minyak goreng sepertinya tidak bakal bisa turun lagi. tidak bisa dipungkiri masyarakat pun ikut tergiur dengan harga jual brondolan sawit yang cukup tinggi saat ini, hanya saja mereka tidak mencari lahan baru untuk usaha itu.

Mulai dari kawasan hutan di areal pegunungan hingga pada kawasan pesisir pantai, terjadi pengalihan fungsi lahan. Di daerah pegunungan kawasan hutan, gunung dengan kemiringan 65 derajat dibabat untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan didaerah pesisir, hutan mangrove, tambak ikan atau udang juga dikonvensi menjadi tanaman kelapa sawit.
Continue reading

Ada Apa di Balik Gerakan ALA-ABAS?

Oleh : Redaksi-kabarindonesia

22-Mar-2008, 10:15:42 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Perdamaian Aceh memasuki tahap ketegangan baru. Sekitar 40-an kepala desa dari kawasan Aceh Tengah, Barat dan Selatan awal pekan ini menggelar demo dan menemui DPR-RI di Senayan, Jakarta, untuk menuntut pembentukan propinsi ALA-ABAS alias Aceh Leuser Antara, Aceh Barat dan Selatan. Alasannya, tertinggal pembangunan, kesenjangan, dan arogansi kuasa dari kalangan KPA, yaitu Komisi Peralihan Aceh yang menampung mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka GAM.

Di muka Komisi II DPR, 40-an kepala desa pendukung ALA-ABAS itu mengancam akan meletakkan jabatan dan melumpuhkan pemerintahan lokal, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi:

“Apabila tuntutan pemekaran ALA dan ABAS ini tidak direspons oleh pemerintah maka kami selaku wakil kepala desa, wakil-wakil rakyat dari Aceh pedalaman siap membuka atribut kepala desa, menyerahkan setempel dan membekukan pemerintahan desa sampai tuntutan kita ini dipenuhi oleh pemerintah. Apabila tuntutan pemekaran Provinsi ALA dan ABAS ini ditolak, maka pemekaran cara Republik Indonesia ini akan terjadi seperti apa yang telah terjadi di Timor Timur”.
Continue reading

Sejumlah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Bantah Rambah Hutan

Oleh : Chairu Dalpen

05-Apr-2008, 23:46:18 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia : Sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta di Kabupaten Aceh Tamiang, membantah telah melakukan penanaman pohon kelapa sawit di kawasan hutan, sebagai upaya perluasan areal perkebunan mereka.

“Areal yang kita tanami kelapa sawit adalah areal yang dibeli dari masyarakat setempat pada tahun 1997, bukan areal hutan lindung, bahkan ada areal eks PT.Kuala Langsa dengan luas hampir 1500 hektar yang kita tanami sawit” ungkap Ridwan Saman, 41, warga Pante Jeumpa Kecamatan Bandar Pusaka yang ikut mengelola salah satu perusahaan perkebunan swasta di Aceh Tamiang. Jum’at (4/4)

Tercatat sedikitnya ada 3 perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang kini masih konsen melakukan penanam, meskipum sejumlah aktivis lingkungan baik daerah maupun nasional pernah mengungkapkan terjadinya perambahan hutan pada kawasan ekosistem lauser (KEL) oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan cara membeli lahan yang dikatakan milik masyarakat.

Berdasarkan pantauan di lapangan, sejauh ini belum ada upaya kongkrit dari pemerintah daerah setempat untuk melakukan upaya-upaya penghentian terhadap aksi dugaan perambahan hutang yang marak terjadi pasca terciptanya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya pada kawasan hutan di Kabupaten Aceh Tamiang.

Saat diklarifikasi tentang berbagai perambahan yang terjadi, instansi terkait menyebutkan bahwa usaha untuk melakukan pendataan terhadap kawasan hutan yang rusak dan mencegah kian maraknya aksi perambahan tersebut, terbentur dengan minimnya dana operasional. Continue reading

Illiza Simbol Bangkitnya Perempuan Aceh

06-Mei-2008, 10:20:50 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – “Alhamdulillah, Ibu Ketua jadi Wakil Walikota Banda Aceh,” pekik Umar Ismail, Juru Kampanye Mawardi-Illiza ketika mengetahui pasangan ini memenangkan pemilihan kepala daerah langsung di Banda Aceh 2006 lalu.
Kegembiraan Umar, tak bisa disembunyikan. Dia dengan cepat mengirim ucapan selamat dan berterima kasih kepada masyarakat yang telah mendukung pasangan ini.

Perjuangan panjang yang melelahkan, ternyata membuahkan hasil dan mewujudkan impian Umar serta masyarakat Banda Aceh. Illiza kini telah resmi menjadi Wakil Walikota perempuan pertama di Kota Banda Aceh. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, secara resmi melantik pasangan ini pada tanggal 19 Februari 2007 lalu.
Pelantikan Ely, panggilan akrab perempuan kelahiran Banda Aceh, 11 Oktober 1973, menjadi wakil Walikota Banda Aceh, mengukir sejarah baru bagi Ibu Kota Provinsi Aceh.

Siapa bilang perempuan tidak bisa berjaya di Kota Serambi Mekah. Buktinya, seorang perempuan bisa menjadi wakil walikota Banda Aceh. Setelah sekian lama tidak pernah terdengar ada perempuan yang memimpin rakyatnya pasca kemerdekaan Republik ini, Ely telah membuktikan hal tersebut.

Tampilnya Illiza sebagai pendamping Mawardi Nurdin dalam memimpin Kota yang penuh sejarah ini, diharapkan mampu membawa perubahan dalam mewujudkan masyarakat Banda Aceh yang bermartabat, terutama bagi kaum perempuan.
Melihat kembali sejarah tempo dulu, perempuan Aceh tampil dimana-mana. Ada yang menjadi Ratu, Panglima perang, pengatur strategi, serta ada pula yang menjadi ulama. Namun, hal itu sangat jauh berbeda setelah kemerdekaan Republik ini.
Zaman telah berubah. Seorang perempuan yang lahir dari keluarga ulama kini memimpin kota. Walau posisinya sebagai Wakil Walikota, setidaknya suara perempuan bisa tersalurkan dalam berbagai program kebijakan kota, ini simbol emansipasi perempuan Aceh.

Istri dari Amir Ridha dan ibu dari Muhammad Hakiki serta Muhammad Luthfi ini tidak diragukan lagi kemampuannya dalam memimpin, mengingat Ely sudah banyak makan asam garam di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh. Sebelumnya, dia juga menjabat sebagai ketua Fraksi Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) kota Banda Aceh. Illiza memulai karirnya sebagai wakil bendahara PPP kota Banda Aceh. Kemudian, ia dipercayakan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kota Banda Aceh Periode 2006-2011.

Terakhir ia menjabat sebagai Ketua Fraksi Pembangunan DPR Kota Banda Aceh sebelum dilantik jadi wakil Walikota. Penyandang gelar tokoh lingkungan dari harian waspada ini menamatkan seluruh pendidikannya di kota Banda Aceh. Mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah serta kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM), Jurusan Manajemen 2005 lalu. Saat kuliah, ia telah menjadi wakil rakyat dari Fraksi PPP pada tahun 2002-2004 dan 2004-2006.

Di tengah kesibukannya sebagai birokrat, Illiza juga aktif di berbagai organisasi, seperti wakil Ketua Pengurus Wilayah (PW) Wanita Persatuan Pembangunan, Bendahara Parmusi, Wakil Ketua DPD-KNPI NAD, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Sekretaris Muslimah Parmusi, Wakil Bendahara KB-PII Kota Banda Aceh dan Sekretaris KPPI Kota Banda Aceh, serta Ketua Kwarda Pramuka kota Banda Aceh.

Putri Alm Sa’aduddin Djamal dan cucu Alm Zainal Bakri (mantan Bupati Aceh Besar) dikenal luas masyarakat, terutama dalam komonitas warga kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Sejak kecil, Ely sudah berbaur dalam sistem pemerintah, karena kakeknya pernah menjabat sebagai Bupati Aceh Besar selama dua periode dan Ayahanda seorang politisi PPP yang cukup disegani di masanya.

Melihat latar belakang itulah, kita tidak perlu meragukan lagi perempuan yang murah senyum ini untuk memimpin kota Banda Aceh. Walaupun secara umum Banda Aceh ini mempunyai persoalan yang cukup besar, rumit dan kompleks, sehingga perlu penanganan dan pembinaan yang terus menerus, terarah dan terpadu dengan visioner andal dan kredibel.

“Saya bersyukur dengan amanah masyarakat kota untuk menciptakan perubahan kondisi sosial yang telah rusak akibat hantaman tsunami, dan semoga saya dapat melayani masyarakat dengan baik,” ujar Illiza.

Pelayanan masyarakat yang baik bukan sekadar menyiapkan dan membangun infrastruktur serta sistem pelayanan yang serba prima, tetapi juga melibatkan masyarakat secara aktif sehingga mereka juga merasa menjadi bagian dari proses pembangunan.
Illiza mengajak seluruh warga kota untuk bersama-sama menyukseskan pembangunan yang sesuai dengan visi dan misi yang pernah disampaikan pada saat kampanye dulu.

“Tanpa dukungan warga kota, saya tidak yakin pembangunan kota akan terwujud sebagaimana harapan kita bersama.” Ungkapnya.
Ia juga berharap, seluruh masyarakat kota Banda Aceh terutama bagi kaum hawa untuk terus bangkit memperbaiki citra diri demi kemajuan di masa yang akan datang. “Saya masih ingat kegagahan Malahayati dalam memimpin kaum Adam, ketika mempertahankan Kerajaan Aceh tempo dulu. Cut Nyak Dhien juga demikian, ia mengantikan suaminya yang syahid dalam mempertahankan martabat rakyat Aceh,” kenang Ely.

Momentum perdamaian MoU Hensinki menjadi bekal tersendiri untuk berperan kaum hawa dalam dunia pemerintahan. Sejak kemerdekaan, Kota Banda Aceh selalu dikendalikan oleh kaum Adam. Kini tidak demikian, perpaduan antara suara hati dengan pikiran akan mengubah kota Banda Aceh menjadi kota yang bertaraf internasional, tambah ibu dua anak ini.
“Kota Banda Aceh akan menjadi sentral perdagangan dunia, karena letaknya sangat strategis sebagai pusat persinggahan dunia, seperti masa jaya Kerajaan Aceh Darussalam dulu. Maka untuk itu saya sangat mengharapkan peran aktif warga kota agar ikut mendukung proses pembangunan di Kota Banda Aceh,” harap Illiza. (Malik Ridwan)

Mengelola Dampak Bencana dengan Kepala Dingin

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi dampak Tsunami di Aceh-Nias sempat sulit dijalankan karena adanya kekacauan data. Untunglah, sebuah aplikasi gsederhanah bisa membantu urusan yang kompleks ini menjadi lebih sederhana pengelolaannya.

26 Desember 2004. Pagi baru saja menyapa Bumi Serambi Mekkah. Tiba-tiba, sebuah gempa tektonik berkekuatan lebih dari 9 Skala Richter terjadi –dengan episentrum kurang-lebih 150 km dari lepas pantai Aceh. Sekitar 45 menit kemudian, gelombang Tsunami menyapu bersih daerah pesisir pantai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang panjangnya sekitar 1.000 kilometer – hampir sama dengan jarak antara Jakarta dan Surabaya. Akibat amukan alam ini, Tanah Rencong luluh lantak. Lebih dari 200 ribu nyawa melayang, serta lebih dari 600 ribu orang kehilangan keluarga dan tempat tinggalnya.

Semua panik dan bingung. Pemerintah langsung membentuk organisasi penanganan bencana Aceh. Hanya saja, penanganan korban menjadi sulit karena ketidakjelasan data korban bencana – semisal berapa jumlah korban, pengungsi, anak yang hilang dari keluarganya, dan sebagainya. Data yang diperoleh oleh beberapa tangan tidak sinkron satu sama lain. Kondisi amburadul dan kacau ini terjadi berhari-hari. Maklum, belum ada sistem yang menopang kebutuhan pendataan. Padahal, dalam kondisi seperti ini data yang valid merupakan kebutuhan vital untuk membuat rencana prioritas penanganan dampak bencana.

Banyak lembaga ataupun perusahaan yang kemudian mengirim donasinya. Tak terkecuali PT IBM Indonesia yang mendatangkan timnya ke NAD, pada minggu kedua Januari 2005, dengan membawa sejumlah perangkat TI. Satu hal yang menarik, tim dari IBM ini juga membawa hasil rancangan aplikasi yang dibutuhkan untuk pendataan korban bencana alam. Mereka menyebutnya Sistem Informasi Manajemen Bencana Aceh (SIMBA). Mereka rupanya cukup jeli melihat masalah krusial yang terkait dengan data ini sebelum bertolak ke Aceh. gUntuk membangun kembali kehidupan rakyat Aceh dan Nias, memang diperlukan sebuah pendekatan yang inovatif,h ujar Suryo Suwignjo, Presdir IBM Indonesia, pada acara penyerahan penghargaan oleh Presiden RI – diwakili Kepala BRR NAD-Nias Kuntoro Mangkusubroto – kepada IBM atas kontribusinya saat bencana Tsunami Aceh-Nias. Acara tersebut berlangsung pada 6 Maret 2008.
Continue reading

Dana BRA Rp450 M Cair Akhir Bulan

Banda Aceh | Harian Aceh
Pemerintah Pusat kemungkinan besar akan mencairkan dana Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) senilai Rp450 miliar akhir bulan ini. “Itulah yang saya dengar. Semoga ini benar,” kata pejabat Dinas Sosial Aceh.
Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Provinsi Aceh, Bukhari kepada Harian Aceh, di ruang kerjanya, Senin (21/4) menyatakan dana bantuan untuk BRA yang akan dicairkan adalah sisa anggaran 2007 yang tidak habis. Pada anggaran 2007 BRA mendapatkan alokasi anggaran Rp700 milyar. Namun dicairkan secara angsur yakni tahap pertama Rp250 milyar dan sudah diserahkan ke BRA, sedangkan sisanya Rp450 milyar tidak disalurkan karena sudah masa tahun anggaran 31 Desember 2007 sudah berakhir. Continue reading

*Soal Rekening Korban Tsunami, Bank Miliki Waktu Sampai 2009

Banda Aceh | Harian Aceh
Bank Indonesia (BI) mengimbau seluruh bank konvensional untuk mengumumkan rekening korban tsunami yang tak memiliki ahli waris. ”Harus diumumkan berapa pun nilainya,” kata Kepala BI Wilayah Aceh, Nawawi.

BI akan membuat jadwal bagi bank untuk mengumumkan dana-dana tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 48 tahun 2007. ”Mereka akan kita imbau untuk mengumumkan tiga kali yakni pada Juni 2008, November 2008 dan April 2009,” kata, Nawawi kepada Harian Aceh di ruang kerjanya, Senin (21/4).
Di sisi lain, dia mengingatkan BI dalam posisi ini hanya bisa mengimbau sebab tidak ada UU yang menetapkan sanksi bagi bank yang menolak mempublikasikan dana seperti itu. ”Jadi kita hanya mengimbau,” katanya. Continue reading

*Lepaskan Ketergantungan dengan Medan, Aceh Butuh 10 Kilang Padi

Banda Aceh | Harian Aceh
Daerah ini membutuhkan sedikitnya 10 kilang padi untuk memproses produksi gabah yang dihasilkan petani Aceh. Kilang padi yang ada sampai kini baru satu, akibatnya produksi gabah Aceh lebih banyak digiling kilang Medan. “Prospek bisnis kilang padi bagus,” kata pejabat pertanian Aceh.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Ir. Asrin, MP, pada diskusi ‘Industri Beras di Aceh’, di Aula BPTP, Banda Aceh Rabu (30/4) menyatakan kilang padi modern bisa menggiling 80 ton/hari seperti yang ada di Glumpang Minyeuk, satu-satunya kilang yang ada di daerah ini.
Bila ada 10 kilang padi, maka gabah Aceh tak perlu lagi harus dibawa ke Medan, untuk diproses menjadi beras di sana. Produksi beras Aceh diprediksi 1,3 juta ton per tahun, dan akan terus meningkat. Dengan begitu, bila ada sembilan kilang padi lagi maka 800 ton gabah per hari dapat digiling sendiri.
Dia mengingatkan, pengusaha Aceh harus berani membuka kilang padi karena pasti untung. “Selama orang masih makan nasi maka selama itu terus ada pembelinya. Jangan seperti selama ini, pagi-pagi datang ke kantor minta diberikan proyek. Aceh harus mampu menandingi kilang-kilang padi yang ada di Medan agar dapat bersaing,” katanya.
Menurut dia, setiap musim panen, 250 ton gabah di Pidie dibawa ke Medan. Ini belum daerah lain. Itu sebabnya, pengusaha Aceh harus mampu meniru apa yang telah dilakukan oleh pengusaha kilang di Medan. Mereka membeli gabah dari Aceh, kemudian menggilingnya menjadi beras yang berkualitas dan mengirim kembali ke Aceh. Akibatnya, masyarakat menanggung beban harga beras yang mahal. “Jangan cuma bisa minta proyek saja,” kata Asrin. “Pengusaha datang ke kantor pagi-pagi, lalu tanya kapan saya dapat proyek.”
Padahal dengan membuka kilang padi maka keberlanjutan usaha ini akan terus terjaga. Masalah modal, ia menyatakan, dalam setiap pertemuan dengan kalangan perbankan selalu meminta kemudahan kredit kepada pengusaha pertanian. Bank telah diimbau untuk melayani bisnis sektor ini dan bukan jangan ke kontraktor bangunan. Continue reading

Berebut Duit Karbon

Merrill Lynch dan Australian Carbon Conservation menyerahkan kontrak kredit karbon hutan Ulu Masen senilai Rp9 juta atau sekitar Rp81 miliar kepada Fauna Flora International (FFI). Sejumlah LSM lain meributkan. Mengapa?

Oleh Muhammad Nizar

BERITA menghebohkan tentang kredit karbon itu terendus dari situs Merrill Lynch Internasional, http://www.ml.com. Merrill dan perusahaan Australian Carbon Conservation mengumumkan penandatanganan perjanjian komersil pertama di dunia dalam rangka proyek pencegahan kerusakan hutan di Ulu Masen, Aceh senilai US$9 juta atau sekitar Rp81 miliar. Lembaga yang dipercaya untuk mengelola dana itu adalah Fauna Flora International (FFI).
Perjanjian ini, yang merupakan perjanjian pertama dalam hal skala dan kompleksitas, memberikan kredit karbon dan diyakini merupakan perjanjian pertama di dunia yang terstruktur, untuk proyek pencegahan kerusakan hutan.
Kontrak ini menjadi dipermasalahkan karena pemegang proyek karbon diserahkan lembaga yang dianggap tidak berhak. “Swasta tidak berhak mengelola dana karbon,” ujar Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Bambang Antariksa, kepada Harian Aceh.
Dia menjelaskan yang berhak mengelola dana pembiayaan karbon adalah Pemerintah Aceh. Setelah itu, pemerintah bisa menunjuk lembaga mana yang menjalankan proyek ini. “Jadi lembaga partikelir tak boleh langsung mengambil alih hak pemerintah itu,” katanya lagi.
Ribut-ribut soal uang karbon menjadi seru setelah Mantan Panglima Tentra Neugara Aceh (TNA) Wilayah Linge, Fauzan Azima menyoal masih maraknya illegal logging yang dilakukan masyarakat sekitar hutan. Masalah duit sebesar itu diangkat ke permukaan menyusul adanya demo ratusan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh Besar ke Mapolda Aceh menuntut pembebasan truk dan kayu yang disita aparat keamanan. “Mestinya mereka demo ke FFI, karena lembaga ini yang mengelola dana karbon,” kata Fauzan.
Fauzan memahami masalah ini karena ia juga Ketua Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Wilayah Aceh. Itu sebabnya, sejumlah kalangan menilai bola kredit karbon sengaja digelindingkan NGO yang konsen masalah kehutanan dan lingkungan hidup karena masalah ini adalah persoalan proyek. Pokok masalahnya menjadi berubah; mengapa harus FFI yang mendapat durian runtuh itu?
Selanjutnya, Walhi menyatakan keraguannya terhadap kredibilitas FFI dalam mengelola dana itu. Walhi Aceh menolak bila dana internasional tersebut mengalir ke FFI. “Akan sulit meminta pertanggung jawaban, karena diduga tidak transparan dan tidak jelas peruntukannya,” kata Bambang Antariksa.
Lepas dari ribut-ribut rebutan dana karban itu, inisiatif Merrill dan Australian Carbon Conservation adalah sebuah langkah progresif. Pasalnya, baru perusahaan ini dan baru Aceh yang menerima kontrak yang memberikan keuntungan kepada ekosistem Ulu Masen tersebut.
Ekosistem Ulu Masen adalah sebuah kawasan yang memiliki kekayaan biodiversitas dan hewan-hewan yang terancam punah. Dengan adanya proyek tersebut diharapkan dapat melestarikan kawasan terakhir dimana Harimau Sumatera, Orangutan, gajah, dan macan tutul itu berada.
Komponen utama perjanjian karbon antara Merrill, Australian Carbon Conservation dan FFI diantaranya mencakup pra-pembiayaan untuk ekslusivitas, jaminan pengambil alihan perjanjian untuk perdagangan karbon selama empat tahun, perencanaan lanjutan untuk enam tahun berikutnya, insentif untuk semua pihak-pihak yang terlibat, dan kesepahaman bersama. Continue reading