Dari Sabang sampai Merauke, Bencana berturut-turut, Sambung menyambung silih berganti Itulah Indonesia
Plesetan lagu perjuangan Dari Sabang Sampai Merauke tersebut dinyanyikan seorang sahabat di tengah kepungan banjir Jakarta yang nyaris tiada henti.Tidak mudah menerka apa yang berkecamuk dalam pikiran dan perasaannya ketika menyanyikan lagu itu.
Getir, ironi,marah, atau apa saja.Semua berbaur. Sejak tragedi tsunami 26 Desember 2004, bencana datang bertubitubi, tiada pernah berhenti. Gempa bumi,tanah longsor,banjir bandang, semburan lumpur, pesawat jatuh, kapal tenggelam, tabrakan kereta api, motor, dan mobil tak terhitung lagi berapa kali terjadi. Bencana di mana-mana, di angkasa, bumi, dan laut. Silih berganti, entah kapan berhenti.
Bencana telah meluluhlantakkan sarana dan prasarana fisik.Tak terhingga berapa fasilitas publik yang porak-poranda.Jika ada dana,iktikad baik,dan tekad yang bulat,kerusakan fisik-material relatif mudah diperbaiki. Yang sangat memprihatinkan adalah rusaknya integritas moral dan bangunan sosial yang mulai kasatmata.
Komoditas-Hiburan
Bencana tidak selalu identik dengan kesedihan dan penderitaan. Bagi mereka yang mengalami langsung, bencana adalah musibah yang sangat berat. Harta, keluarga, dan masa depan mereka sirna. Namun, bagi sekelompok orang lain, bencana justru menjadi momentum yang membahagiakan.
Kelompok pertama adalah penjual bencana.Kelompok ini mampu menjual bencana sebagai komoditas. Sebagian menjadikan bencana sebagai komoditas ekonomi perseorangan atau kelompok.Atas nama membantu masyarakat, mereka menjajakan bencana kepada para dermawan dan lembaga donor. Sebagian bantuan diserahkan kepada masyarakat korban bencana, sebagian terbesar masuk ke kantong pribadi. Ada juga kelompok yang menjadikan bencana sebagai komoditas politik.
Bencana adalah ajang kampanye bagi partai politik.Pengurus atau anggota partai politik menyumbang berbagai kebutuhan makanan,pakaian, dan obat-obatan kepada korban. Kerap sumbangan yang diberikan hanyalah bersifat simbolis, seremonial, dan sporadis. Sumbangan sekadarnya tersebut diserahkan kepada ”konstituen” dengan peliputan media massa yang luas. Berita media merupakan komoditas dan instrumen kampanye yang ampuh untuk menarik simpati massa.
Kelompok kedua adalah penonton bencana.Bagi kelompok ini,bencana merupakan tontonan dan hiburan yang menarik. Sebagian mereka asyik menikmati bencana dari siaran televisi. Menonton bencana sama menariknya seperti menyaksikan tayangan infotainment atau kriminalitas. Termasuk kelompok penonton bencana adalah mereka yang gemar melakukan ”wisata musibah” dengan mengunjungi daerah-daerah yang terkena musibah. Mereka mengamati langsung bagaimana dahsyatnya bencana untuk bahan cerita atau agar tidak ketinggalan informasi.
Karena banyaknya para ”wisatawan musibah” yang berkunjung ke lokasi gempa, warga Yogyakarta membuat peringatan: ”Yogyakarta bukan tempat jag-jagan (jalan-jalan).”
Membangun Jiwa Altruisme
Munculnya para penjual dan penonton bencana merupakan fenomena kerusakan moral dan melemahnya bangunan sosial.Para ahli psikologi sosial menyebut perilaku sosial negatif tersebut bystander apathy.
Sikap masa bodoh, cuek, tidak peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Menurut Jerome Kagan & Julius Segal (1992),bystander apathy terjadi karena beberapa sebab. Pertama karena menolong bukan merupakan tanggung jawab langsung. Masih banyak orang lain yang akan membantu. Kedua, karena kurangnya keakraban (intimacy) dan kebersamaan (cohesiveness) di antara warga masyarakat. Jarak dan kesibukan membuat masyarakat tidak saling mengenal (anonymity).Ketiga, karena bencana dianggap sebagai hal yang biasa (ordinary).
Bencana yang terjadi secara ”rutin” membuat masyarakat mulai bisa beradaptasi dan comfortable.Pemberitaan media yang gencar tidak membuat masyarakat segera tergugah untuk menolong sesama. Bystander apathy merupakan realitas sosial yang lazim terjadi di dalam masyarakat modern, terutama di kota-kota besar.
Rendahnya respons warga Jakarta terhadap para korban banjir merupakan bukti betapa kuatnya bystander apathy. Perlahan tapi pasti, sebagian besar dari kita mulai melupakan korban tsunami (Aceh), gempa bumi (Yogyakarta), dan lumpur panas (Sidoarjo) yang sampai sekarang belum memiliki tempat tinggal. Penderitaan mereka sudah terlupakan karena banyaknya bencana di tempat lain. Bisa jadi mereka terabaikan karena sebagian besar bangsa kita sudah apatis. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana kita membangun jiwa altruisme. Jiwa yang peka terhadap penderitaan sesama, peduli kepada orang lain dengan penuh rasa empati dan simpati. Jiwa yang suka berbuat baik, menolong dengan suka rela.
Altruisme merupakan ajaran universal semua agama. Bangsa Indonesia memiliki budaya gotong-royong sebagai warisan agung nenek moyang. Pendidikan keluarga dan sekolah merupakan dua pilar yang berperan penting dalam membangun jiwa altruisme. Kehadiran pembantu dalam mayoritas keluarga di kota besar telah menggeser semangat tolong-menolong dan berbagi di dalam keluarga. Anak-anak berperilaku sebagai bos yang bisa memerintah pembantunya kapan saja.Kepekaan sosial menjadi lemah karena mereka bisa mendapatkan apa saja dengan mudah.
Anakanak tidak perlu lagi bekerja bakti membersihkan sekolah karena semua tugas sudah dikerjakan oleh petugas kebersihan atau cleaning service.Perlu reorientasi pendidikan agar generasi muda tidak tercerabut dari budaya masyarakatnya. Sebagian bencana yang terjadi berturut-turut,silih berganti di tanah air kita merupakan ”takdir”Tuhan yang harus diterima dengan kesabaran.
Yang terbesar adalah bencana kemanusiaan. Banjir dan tanah longsor bukan semata-mata bencana alam, tetapi bencana kemanusiaan karena keteledoran dan keserakahan manusia. Energi dan keuangan negara kita terkuras untuk memperbaiki kerusakan fisik-material. Namun kita tidak boleh kehabisan energi untuk saling berbagi dengan tulus, menolong sesama tanpa pamrih. Media massa secara masif memberitakan kondisi masyarakat korban bencana. Semoga itu tidak sekadar menjadi tontonan dan hiburan, bencanatainment.(*)
ABDUL MU’TI
Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Jakarta
Filed under: METROPOLITAN | 1 Comment »