Oleh
Krisna Harahap
Untuk pertama kalinya upaya judicial review atau toetsingrecht diajukan oleh para terpidana korupsi terhadap UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Melalui Putusan No 003/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karenanya, penjelasan pasal itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penjelasan pasal yang kontroversial itu berbunyi: Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat”.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian, dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu norma keadilan adalah merupakan ukuran yang tidak pasti. Penjelasan Pasal 2 itu, masih menurut MK, telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sebagai hasil pengembangan yurisprudensi di dalam Hukum Perdata (Pasal 1365 KUHPerdata) diberlakukan pula sebagai suatu ukuran melawan hukum di dalam Hukum Pidana ( wederrechtelijkheid).
Di dalam pertimbangannya, MK justru tidak menyinggung sama sekali ketentuan Ayat (1) Pasal 28 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Mengeliminasi Pengadilan Tipikor
MK juga memutuskan bahwa Pasal 53 UU No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini mengatur tentang keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
MK menyatakan “bahwa Pasal 53 tersebut bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.
MK beranggapan bahwa dari segi teknis perundang-undangan frasa “diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri, seperti dimaklumi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kendati Pasal 53 tersebut di-nyatakan bertentangan dengan Konstitusi, tetapi MK dalam putusan No.012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa pasal itu tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak putusan diucapkan. Itu berarti bahwa smooth transition seperti dimaksud oleh MK akan berakhir pada tanggal 19 Desember 2009.
Apabila DPR tidak mampu menghasilkan undang-undang pengganti seperti yang ditetapkan oleh MK maka berakhirlah kiprah pengadilan ad hoc yang sangat dibenci oleh para koruptor dan pengacaranya itu.
Dengan diratifikasinya United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dengan UU No.7/2006 maka mengemuka pula upaya revisi UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemerintah segera membentuk tim yang diberi nama Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang diketuai oleh Prof Andi Hamzah dan RUU Pengadilan Tipikor yang diketuai Prof Romli.
Rancangan UU Tipikor ternyata kontroversial. Misalnya, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri dan secara tidak langsung menghilangkan Pengadilan Ad Hoc Tipikor yang memeriksa perkara-perkara korupsi eks KPK. Kurang jelas, apakah upaya mengeliminasi Pengadilan Ad Hoc Tipikor itu untuk mengakomodasi kepentingan sejumlah pengacara perkara korupsi yang menuduh para hakim pengadilan ini tidak berpengalaman.
Padahal di antara para hakim ad hoc itu ada yang mantan kepala pengadilan tinggi maupun kepala pengadilan negeri. Di antara para perancang UU Tipikor itu, memang ada pengacara yang memegang perkara-perkara korupsi besar.
Semakin Diperolok
Sebagai pengganti Pengadilan Ad Hoc itu, para perancang mengusulkan dibentuknya pengadilan khusus dengan menafikan kehadiran para hakim ad hoc. Majelis sepenuhnya terdiri dari para hakim karier tanpa memperhitungkan bahwa keberadaan para hakim ad hoc justru karena para penegak hukum, termasuk hakim, disangsikan integritasnya.
Baik RUU Tipikor versi Prof Andi Hamzah (Pasal 15) maupun RUU Pengadilan Tipikor hasil kerja tim Prof. Romli, Pasal 6 huruf c, menginginkan agar Pengadilan Tipikor tidak menjamah tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang lain yang tidak dengan tegas ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Konsekuensinya, undang-undang pajak, lingkungan hidup, perikanan,pertambangan kehutanan dan keuangan, yang ditengarai mengandung asas logische specialiteit atau kekhususan yang logis, tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan Tipikor. Kalaupun ada dakwaan berdasarkan undang-undang semacam ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor harus membebaskannya.
Dapat dibayangkan bahwa para konglomerat yang dulu leluasa mengisap BLBI akan semakin mengolok-olok para pemimpin dan ahli-ahli hukum negara ini karena apabila RUU Tipikor dan RUU Pengadilan Tipikor yang akan diajukan oleh Pemerintah ke DPR dalam waktu dekat ini berhasil disahkan jadi undang-undang maka para koruptor tersebut akan lepas dengan sendirinya dari hukum.
Ini karena UU mengenai bank sebagai undang-undang khusus dapat menafikan UU Tipikor karena berlaku asas lex specialis systematic derogat lex generali. Para koruptor eks BLBI itu tak dapat didakwa berdasar UU Tipikor. Paling banter didakwa berdasar undang-undang administrasi atau khusus, yakni UU Perbankan yang berada di luar ranah Pengadilan Tipikor. Sama halnya dengan pengemplang pajak, pelaku pembalakan liar, illegal fishing dan sebagainya.
Oleh karena tindak pidana yang mereka lakukan sebelum undang-undang ini lahir maka undang-undang yang dapat dikenakan kepada mereka adalah undang-undang yang paling ringan. Oleh karena yang paling ringan bagi mereka adalah undang-undang yang baru, mereka tetap tidak akan dapat didakwa berdasarkan undang-undang Tipikor (Pasal 1 Ayat (2) KUHP).
Para wakil kita di DPR perlu mencermati ekstra sungguh-sungguh setiap pasal RUU yang diajukan ke DPR. Meloloskan pasal-pasal yang multi tafsir apalagi manipulatif, berarti memberi peluang kepada para koruptor untuk lepas dari jerat hukum. Jangan lupa bahwa para koruptor itu mampu membayar para pengacara tenar, berapapun tarifnya.
Penulis adalah guru besar FH Unpad, mantan anggota Komisi Konstitusi
MPR RI.
Filed under: KABINETORIAL | 1 Comment »