Tanggal : | 06 Feb 2008 |
Sumber : | Harian Terbit |
BUKAN hanya cuti bersama, seharusnya jumlah hari-hari libur pun harus segera dikurangi.
Itulah komentar kita mendengar kebijakan pemerintah yang diumumkan kemarin, terkait jumlah hari-hari cuti bersama yang sebelumnya ditetapkan pemerintah.
Sejak pemerintahan Presiden Yudhoyono, memang ada sesuatu yang aneh dan terasa agak janggal di republik ini. Yaitu menyangkut jumlah hari-hari libur yang sudah sedemikian banyaknya, namun justru ditambah lagi dengan kebijakan melakukan cuti bersama. Cuti bersama ini sering bermakna memperpanjang masa libur. Hari kerja yang berada di antara hari-hari libur –yang umumnya disebut sebagai ‘hari kejepit’– diliburkan. Jadinya, mungkin saja jumlah hari libur di negeri ini merupakan jumlah hari libur terbanyak di dunia. Entahlah tak ada data tentang itu.
Yang pasti, para pegawai negeri nampaknya menikmati sekali kenyataan tersebut. Tak sedikit kemudian mereka memanfaatkan libur bersama itu untuk pulang kampung. Sekadar membuang waktu. Dalam perkembangannya kemudian, sering muncul statemen dari para pejabat negeri, bahwa manfaat cuti bersama ini mampu membangkitkan sektor pariwisata, karena dengan kebijakan cuti bersama, arus wisatawan domestik untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di dalam negeri meningkat tajam.
Tapi itu bagi pegawai negeri. Atau katakan juga kalangan swasta yang kelas menengah atas. Bagaimana dengan kebanyakan rakyat lainnya yang nota bene hidup dari berusaha berdagang kecil-kecilan, ngojek, sopir angkutan umum dan pedagang kaki lima?
Kebanyakan malah mengeluhkannya. Dengan hari libur atau cuti bersama pendapatan mereka merosot tajam. Itulah penyebabnya mengapa mereka mengeluh. Keluhan mereka ini sama dengan keluhan kebanyakan pengusaha yang tak habis pikir betapa etos kerja yang ada di tengah-tengah kalangan pekerja kok tiba-tiba harus digerogoti oleh kebijakan cuti bersama. Para pengusaha pun membandingkan dengan negeri lain, sebut misalnya China, yang hari liburnya ditekan seminim mungkin.
Bahkan tak sedikit yang berpendapat, kebijakan cuti bersama justru membuahkan kemalasan bagi rakyat. Rakyat terlalu banyak bersantai ria tanpa memikirkan produktivitas.
Sebelum ada kebijakan hari libur atau cuti bersama saja, jumlah hari libur di negeri ini sudah sangat banyak. Sebagaimana sudah pernah kita singgung melalui rubrik ini, jumlah hari libur di negeri ini tak lepas dari keberadaan agama-agama yang resmi diakui negara. Masing-masing umat beragama mempertahankan hari-hari agama tertentu agar tetap diliburkan.
Untuk umat Islam saja sebagai contoh, selain libur hari raya idul fitri dan idul adha, juga ada isra’miraj, maulid Nabi Saw, 1 muharram …dsb, yang menurut hemat kita sudah saatnya kini ditinjau kembali. Pertimbangan kita, toh hari kerja tidak akan menganggu umat yang ingin merayakan hari-hari besar Islam itu. Bagaimana dengan umat agama lainnya?
Hemat kita sama. Prinsipnya bagaimana agar di negeri ini jumlah hari liburnya tidak terlalu banyak. Bagaimana agar etos kerja masyarakat ditingkatkan. Bila perlu untuk menggenjot produktivitas nasional, tak ada pekerja yang tidak lembur. *
Filed under: KABINET REVIEW | 1 Comment »