AKAN TERJADI KRISIS LISTRIK MULAI TAHUN 2009, SBY-JK PERLU RESTRUKTURISASI MANAJEMEN PLN

 JAKARTA – Mulai tahun 2009 diprediksi Indonesia akan mengalami krisis listrik. Proyeksi pembangunan pengadaan listrik oleh PLN dipastikan tidak akan tercapai, sebab realisasi pembangunan hanya mencapai 30-40% dari target. Sementara investor mulai enggan menanamkan investasi karena dinilai manajemen PLN kurang sehat. Untuk itu SBY-JK perlu memberikan prioritas melakukan restrukturisasi menajemen PLN sedini mungkin. “Jika tidak segera diatasi oleh pemerintah, krisis listrik ini akan terus berkelanjutan dan tahun 2009 Indonesia akan mengalami krisis parah. Saat ini saja diberbagai daerah sepertti Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan mulai menunjukkan tanda-tanda yang signifikan,” tegas Presiden LIRA, Drs. M. Jusuf Rizal, SE kepada wartawan di Jakarta, sehubungan dengan akan dilakasanakannya dialog “Upaya mengatasi Krisis Listrik & Pengaruh Politik Pemilu 2009’’, minggu mendatang. Menurut Jusuf Rizal, sudah saatnya SBY-JK turun tangan, melalui menteri terkait melakukan pembenahan dalam menajemen PLN, sebab diprediksikan akan banyak proyek pembangkit tenaga listrik tidak akan mencapai target pembangunan, yang disebabkan berbagai faktor, antara lain sulitnya pendanaan, kemungkinan gagalnya target penyelesaian pembangunan PLTU, tidak adanya pengawasan & transparansi manajemen di PLN, hingga dugaan mark up proyek-proyek pembangkit yang berpotensi merugikan negara trilyunan rupiah. Pengadaan proyek listrik selama ini menempatkan PLN sebagai mayoritas tunggal, sehingga semua mekanisme dan realisasi proyek listrik tersebut semua dilakukan oleh PLN sendiri, mulai dari tender, negosiasi, menentukan kontraktor, kontrak sampai pembelian dan penjualan listrik semua ditentukan oleh PLN sendiri, tanpa ada pengawasan. Dengan demikian secara power full PLN seperti sebuah kerajaan, tanpa pengawasan dan ini menjadi salah satu sumber Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Restrukturisasi menajemen PLN merupakan jalan keluar. Namun demikian sejumlah instrument juga masih dibutuhkan seperti perlunya dibentuknya kembali Kepres tentang kelistrikan yang memberikan kewenangan kepada Dirjen Listrik membentuk Tim Independen untuk melakukan pengawasan. Pemerintah juga perlu mendorong segera disahkannya Undang Undang Kelistrikan, agar tidak terjadi monopoli penanganan proyek-proyek PLN, seperti sekarang dan terbukanya berbagai perusahaan yang memiliki bonafiditas ikut ambil bagian memenuhi kebutuhan listrik bangsa ini. Salah satu hal terpenting dalam mengantisipasi krisis listrik ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara tegas dan meminta pertanggungjawaban Direksi PLN atas lelang proyek pembangkit 10.000 MW. Sebab dalam syarat lelang bahwa kontraktor diharuskan menyediakan pendanaan sebesar 85% dalam bentuk kredit ekspor.”Tapi nyatanya kontraktor tersebut tidak mampu memenuhi persyaratan. Mustinya perlu dilakukan tender ulang dan jaminan 3% kontraktor disita negara,” tegas Jusuf Rizal sambil mengutif penyataan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J. Purwono. Sekarang ini justru PLN yang sibuk mencari investasi sementara kontraktor yang dulunya menyatakan sanggup justru lepas tangan. Kalau pemerintah tidak tegas hal ini akan dapat menimbulkan masalah baru. Sebab kontraktor tidak memiliki jaminan yang cukup bahwa akan mampu menyelesaikan pembangunan PLTU 10.000 MW. “Kalau kontraktornya gagal, pemerintah agan gigit jari dan PLN yang memberikan jaminan akan mengalami kerugian milyaran dollar,” tegas Jusuf Rizal yang dulu turut membantu SBY-JK dalam Pilpres 2004. Menurutnya ada 5 (lima) perusahaan, yaitu PLTU Banten I (Suralaya Baru) 1 x 625 MW dengan nilai investasi US$ 428,88 juta, PLTU Banten II (Labuan) 2 x 316 MW dengan nilai investasi US% 492,9 juta, PLTU Jabar I (Indramayu) 3x 330 MW dengan nilai investasi US$ 863,2 juta, PLTU Jatim II (Paiton Baru) 1 x 660 MW dengan nilai investasi US$ 466,3 juta dan PLTU Rembang (Jateng) 2 x 316 MW dengan nilai US$ 558 juta yang memenangkan tender proyek 10.000 MW namun tidak memenuhi persyaratan tender. Selain itu masih ada 14 proyek PLTU 10.000 MW yang tidak jelas pendanaannya setelah ABN Amro mengundurkan diri mendanai proyek tersebut. Ke-14 perusahaan tersebut adalah PLTU Labuan, Indramayu, Rembang, Suralaya, Paiton, Pacitan, Teluk Naga, Pelabuhan Ratu, Lampung, Sumut, NTB, Gorontalo, Sulut, Kep. Riau, Kalteng 1, Sulteng, NTT 1, Tanjung Awar-Awar dan Kalbar. Sementara pembangunan proyek listrik yang ditangani swasta (IPP) di PLTP Bedugul 175 MW, PLTU Celukan Bawang 380 MW, PLTU Madura 200 MW, PLTU Anyenr 300 MW, LPTU Paiton Ekspansi 800 MW, PLTU Tanjung Jati B 1320 MW, PLTU Cilacap sebesar 3.770 MW nasibnya juga tidak jelas. Baru kelihatan terealisasi adalah pembangunan PLTP Kamojangan 60 MW, PLTP Wayang Windu Unit 2 110 MW dan PLTU Cirebon 660 MW. Melihat kondisi yang menghawatirkan ini, SBY-JK harus turun tangan langsung, sebab krisis listrik ini akan mudah dijadikan komoditas politik menjelang tahun 2009. Selain itu dengan turunnya pemerintah membenahi menajemen PLN diharapkan akan dapat melakukan efisiensi dan menekan tingkat kebocoran yang berpotensi merugikan negara trilliunan rupiah.