Rabu, 30/01/2008 08:33 WIB
BISNIS INDONESIA
oleh : Hery Trianto
Tidak ada yang aneh dengan kegiatan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pada Senin pagi. Bersama sejumlah deputi gubernur, dia menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Materi yang dibahas pun hanya dua: fungsi legislasi atas PBI dan persetujuan parlemen soal penghapusan utang luar negeri Liberia. Satu hal yang agak luar biasa, Komisi DPR Bidang Keuangan dan Perbankan itu meminta dilibatkan dalam pembahasan Peraturan Bank Indonesia terutama yang menyangkut perbankan. Burhanuddin pun setuju.
Rapat bubar saat jam makan siang. Maklum, perhatian sebagian besar orang tersedot berita kematian mantan presiden Soeharto, yang tepat tengah hari dimakamkan di Karanganyar, Jawa tengah. BI dan DPR yang sebenarnya tengah disorot karena kasus aliran dana Rp100 miliar luput dari perhatian para wartawan yang meliput acara itu.
Sampai pada sore hari, informasi meluncur dari Juru Bicara KPK Johan Budi: Burhanuddin Abdullah telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Jumat 25 Januari 2008. Gubernur BI sebenarnya tidak sendiri, dua anak buahnya yakni Rusli Simanjuntak (mantan Kepala Biro Komunikasi) dan mantan Direktur Hukum Oey Hoeng Tiong juga mengalami nasib serupa.
Ketiga orang tersebut disangka terlibat dalam pencairan dana Rp100 miliar yang digelontorkan BI kepada anggota DPR, pengacara, dan sejumlah pakar. Dana diduga untuk mengamankan kepentingan bank sentral yang tengah didera masalah dari penyalahgunaan dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sehingga citra lembaga tersebut terpuruk.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, dana Rp31,5 miliar disetorkan kepada sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Sebanyak Rp 42,7 miliar digunakan untuk membereskan perkara hukum tujuh petinggi BI-yang terjerat dugaan korupsi BLBI.
Lengkap sudah. Dalam dua kali masa jabatan, Indonesia memiliki gubernur bank sentral berstatus tersangka. Sebelum Burhanuddin, Syahril Sabirin juga mengalami hal serupa. Bahkan Gubernur BI periode 1998-2003 tersebut sempat mendekam selama beberapa bulan di penjara.
Pada 5 Juni 2000, Syahril resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bank Bali. Sebagai Gubernur BI, Syahril disangka tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam verifikasi dalam pencairan dana BLBI untuk pembayaran dana pihak ketiga Bank Bali.
Kasus tersebut kemudian menghasilkan drama berkepanjangan di BI. Syahril sempat dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebelum akhirnya bebas murni pada banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Penetapan tersangka juga sempat merusak hubungan bank sentral dengan pemerintah. Saat itu, Presiden Abdurrahman Wahid tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya kepada Syahril, bahkan sempat mengusulkan pergantian Gubernur BI kepada Ketua DPR Akbar Tanjung.
Polemik ini berkesudahan setelah Abdurrahman Wahid terjungkal dari kursi presiden pada Juli 2001, dan Syahril tetap melenggang sebagai Gubernur BI hingga masa tugasnya berakhir Mei 2003.
Berstatus tersangka tentu bukan situasi yang mudah bagi Burhanuddin. Di pengujung kepemimpinannya, sang penggila buah durian ini harus berhadapan dengan kasus korupsi. Kali ini, dia harus berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang di zaman Syahril jadi tersangka belum terbentuk.
Tuduhan yang dihadapi Burhanuddin juga jauh lebih berat dan diwarnai oleh nuansa politik yang sangat kental. Bagaimana tidak? Kasus ini juga melibatkan sejumlah anggota DPR periode 1999-2004. Sebut saja salah satunya Antony Zeidra Abidin, mantan anggota parle-men untuk sub-Komisi Perbankan yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jambi.
Entah kebetulan atau tidak, masa jabatan Burhanuddin kurang dari lima bulan. Mei nanti, seharusnya mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu sudah memiliki pengganti. Sesuai ketentuan, dia masih punya kesempatan memperpanjang jabatan untuk masa lima tahun ke depan.
Kompleksitas kerja
Kombinasi dari dua latar belakang itu sudah pasti akan menambah kompleksitas kerja KPK dalam membuktikan bahwa Gubernur BI bersama sejumlah bawahannya bersalah. Apalagi hingga hari ini belum satu pun anggota DPR yang diduga menerima suap dari bank sentral ditetapkan sebagai tersangka.
Padahal, berdasarkan hasil audit BPK yang dijadikan dasar penyelidikan KPK, jelas disebut nama Antony Z. Abidin sebagai salah satu penerima dana. Berkali-kali Antony membantah tuduhan itu.
Pada sisi lain, keberadaan Anwar Nasution dalam silang sengkarut aliran dana BI ke DPR yang disebut oleh bank sentral sebagai ‘program diseminasi dan bantuan hukum’ ini juga melahirkan persoalan sendiri. Bagaimanapun guru besar Fakultas Ekonomi UI itu adalah bekas Deputi Senior Gubernur BI.
Kemarin, saat menggelar jumpa pers khusus terkait dengan penetapan sebagai tersangka, Burhanuddin berujar bila keputusan pemberian dana tersebut bersifat kolegial, bukan keputusan gubernur seorang. Ungkapan ini jelas ditujukan kepada Anwar, sekalipun ada sejumlah deputi lain yang kini juga pensiun.
Burhanuddin tak mau menanggung beban perbuatan kolegial itu sendirian. Bila itu yang terjadi, hasil laporan audit yang dirilis oleh BPK akan menyeret ketuanya juga. Anwar, dalam berbagai kesempatan juga membantah terlibat dalam pengucuran dana.
Namun, apa pun nuansa yang berkembang diseputar penetapan tersangka pada Gubernur BI, substansi dari persoalan meski dikedepankan. Apalagi, sebagaimana dikatakan oleh Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun, aliran dari BI yang bersumber dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia adalah hasil pungutan liar terhadap pelaku industri perbankan.
Jelas, ini bukan persoalan yang remeh, apalagi sekadar terkait dengan isu suksesi di bank sentral. Sebagai lembaga publik, jelas-jelas ada rambu pelarangan memberi atau menerima gratifikasi.
Pertanyaannya sekarang, apakah setelah menjadi tersangka, gubernur masih bisa menjalankan tugas kesehariannya dengan baik? Posisi gubernur bank sentral adalah salah satu kunci dalam perekonomian. Dalam situasi pasar yang begitu terbuka, sentimen adalah salah satu penentu stabilitas perekonomian.
Bila merunut saat Syahril menjadi tersangka, situasi perekonomian dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dalam periode penetapan sebagai tersangka dan pertikaian dengan presiden, nilai tukar rupiah sempat anjlok sampai Rp12.200 per dolar AS pada 10 April 2001 setelah sempat berada di level Rp6.950/US$ pada awal 2000.
Kini, saat Burhanuddin menjadi tersangka, kondisi perekonomian juga dalam kondisi yang stabil. Bahkan, dalam Pertemuan Tahunan Perbankan dua pekan lalu, Gubernur BI menyebutkan perekonomian terbang dengan dua sayap.
Pasti tak ada yang berharap, penetapan tersangka ini akan berpengaruh terhadap terkendalinya kondisi moneter, kendati kemarin ada seorang pejabat BI dengan agak emosional berkata bisa saja nilai tukar dibawa ke level Rp10.000. Bank sentral dapat belajar pada kasus Syahril bahwa semangat membela korps tak layak dibawa dalam urusan mengatur moneter. (hery.trianto@bisnis.co.id)
Filed under: OPINI BLBI, SOSOK | Leave a comment »